Kamis, 29 Januari 2009

Kodrat ilahi

Salah satu sifat esensial yang dimiliki Tuhan adalah kodrat dan kekuasaan, dan Al-Qur’an menyebut Nya dengan sebutan Qâdir dan Qadîr. Kodrat merupakan salah satu sifat yang bisa kita temukan dalam diri kita sendiri pada tingkatan terbatas. Berpijak dari hal ini, maka pengertian kodrat pada batasan tertentu telah jelas bagi kita, namun ada baiknya untuk penjelasan lebih luas kami menyajikan pula definisi kodrat yang nantinya akan mengantarkan kita untuk memahami definisi kodrat Ilahi.
Definisi kodrat
Para teolog Islam mengungkapkan berbagai definisi yang berbeda tentang kodrat. Definisi umum mengatakan bahwa Qâdir adalah apabila berkehendak, akan berbuat sesuatu dan apabila berkehendak, akan meninggalkannya. Berdasarkan hal ini, ketika dikatakan, pelaku tertentu mempunyai kodrat dan kemampuan untuk melakukan atau meninggalkan pekerjaan atau aktifitas, maka hal tersebut harus sesuai dengan keinginan dan kehendaknya. Oleh karena itu, pada seluruh persoalan, apabila pelaku tidak berkehendak dan perbuatan muncul tidak sesuai dengan keinginan dan kehendaknya, maka pelaku ini dalam melakukan perbuatannya dikatakan tidak mempunyai kehendak dan kodrat. Sebagai contoh, api tidak mempunyai kodrat untuk memunculkan panas dan membakar, karena membakar dan panas yang dimilikinya tidak muncul dari “keinginan”nya sendiri, maka tidak bisa dikatakan: apabila ingin ia bisa meninggalkan perbuatan membakar itu.
Berdasarkan definisi di atas, maka bisa disimpulkan:
a. Kemampuan dan kodrat untuk melakukan aktifitas tidak selalu mengharuskan terjadinya perbuatan, melainkan bisa jadi pelaku yang mempunyai kemampuan untuk melakukan suatu aktifitas malah meninggalkannya, hal ini terjadi ketika kehendak untuk melakukan pekerjaan itu berubah menjadi kehendak untuk meninggalkannya.
b. Pelaku bisa disebut mempunyai kemampuan atau kodrat sebelum melakukan aktifitas, hal ini berlawanan dengan pendapat sekelompok yang mengatakan bahwa pelaku hanya akan disifati dengan sifat kodrat setelah melakukan aktifitas[1]. Kebenaran pendapat ini bisa ditinjau dari penjelasan definisi kodrat dan juga merujuk kepada keadaan diri sendiri, telah jelas bahwa definisi kodrat meliputi dua proposisi bersyarat, yakni sebelum melakukan aktifitas tetap dikatakan bahwa pelaku memiliki kodrat. Pada sisi lain, dalam diri sendiri, kita menemukan begitu banyak hal yang mampu dilakukan, padahal belum melangkah untuk melakukannya.
c. Kodrat senantiasa diperhadapkan pada dua persoalan kontradiksi yaitu melakukan dan meninggalkan perbuatan, dengan kata lain, setiap membicarakan kodrat pelaku, maksudnya adalah pelaku ini mempunyai kemampuan melakukan dan kemampuan meninggalkan aktifitas. Sebaliknya, sebagian teolog berpendapat bahwa penyifatan kodrat pada pelaku hanya terjadi ketika muncul aktifitas dari pelaku itu, ini berarti bahwa kepemilikan kodrat hanya ada ketika melakukan aktifitas.
d. Kontradiksi antara dua pengertian kodrat dan kelemahan (al-ajiz) adalah sebagaimana kontradiksi antara pemahaman ketiadaan kodrat dan kepemilikan kodrat, oleh karena itu, pelaku-pelaku alami seperti api yang kosong dari kehendak, tidak bisa disifati sebagai sesuatu yang memiliki kodrat dan tidak pula dikatakan lemah dari kodrat.
Makna Kodrat Ilahi
Setelah kita mengetahui definisi kodrat, selanjutnya kita akan mengamati makna kodrat Ilahi. Bisakah makna umum kodrat ini kita nisbahkan kepada Tuhan secara langsung?
Dengan meninjau kembali definisi tersebut, bisa dikatakan bahwa tidak menjadi masalah apabila makna umum ini dinisbahkan kepada Tuhan secara langsung, tapi dengan syarat bahwa kita memandangnya sebagai kemampuan yang tak terbatas. Oleh karena itu, makna kodrat Tuhan adalah Dia melakukan aktifitas sesuai dengan keinginan-Nya dan meninggalkannya sesuai pula dengan kehendak-Nya.
Tentu saja harus diingat bahwa ketika kita mengamati hakikat kodrat dalam diri kita, akan kita temukan bahwa aktifitas yang kita lakukan atau kita tinggalkan biasanya muncul karena mengikuti motivasi dan faktor eksternal. Dari sini jelas bahwa makna yang demikian ini tidak akan sesuai jika kita nisbahkan kepada Tuhan, karena konsekuensi dari hal tersebut adalah bahwa Tuhan dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar diri-Nya dan ini juga berarti bahwa Dia berbuat sesuatu karena selain-Nya, pengertian ini tidak sesuai dengan kesempurnaan mutlak Tuhan dan keniscayaan wujud-Nya. Meskipun sebagian teolog berkeyakinan bahwa perbuatan Tuhan muncul karena motivasi dan unsur-unsur dari luar dzat-Nya, akan tetapi pendapat yang benar adalah tak satupun aktifitas Tuhan dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, hal ini jelas berlawanan dengan makhluk-Nya yang mempunyai ikhtiar dan kebebasan seperti manusia.
Penegasan Kodrat Ilahi
Dengan berpijak pada pengertian kodrat Ilahi di atas, kita bisa membuktikan kekuasaan Tuhan dengan beragam argumen, namun di sini kami hanya akan menyajikan satu argumen saja.
Berdasarkan definisi kodrat, pernyataan tentang “Tuhan tidak mempunyai kodrat dan kemampuan” hanya akan dikatakan benar ketika Dia berkeinginan untuk berbuat akan tetapi tak mampu melakukan atau Dia berkeinginan untuk tidak melakukan perbuatan akan tetapi justru terjadi aktifitas itu (tak mampu mengontrol sehingga terjadi perbuatan). Muncul pertanyaan, apa yang menjadi penyebab ketidakhadiran apa yang diinginkan oleh Tuhan? Untuk menjawab pertanyaan ini, terdapat dua asumsi:
Asumsi pertama, dzat Tuhan menjadi faktor ketidakhadiran apa yang Dia inginkan. Asumsi ini adalah tidak rasional dan batal. Karena tidak logis jika dikatakan bahwa Tuhan ingin melakukan aktifitas, akan tetapi Dia sendiri yang menjadi penghalang terjadinya aktifitas itu.
Asumsi kedua, adanya faktor eksternal selain Tuhan yang menjadi penyebab ketidakmunculan apa yang diinginkan-Nya. Asumsi inipun adalah tidak rasional, karena sebelumnya telah terbukti monoteisme Tuhan (Wâjibul Wujûd), dimana seluruh eksistensi selain-Nya adalah makhluk-makhluk-Nya (mumkinul wujûd) yang senantiasa bergantung kepada-Nya, oleh karena itu, tidak logis bila eksistensi makhluk yang tidak memiliki kemandirian sama sekali menjadi penghalang keinginan dan kehendak Tuhan.
Dengan demikian, terbukti bahwa Tuhan yang Qâdir dan Maha Kuasa ketika berkehendak tak sesuatupun yang menghalang keinginan-Nya.
Kemutlakan Kodrat Tuhan
Salah satu pembahasan yang hingga saat ini masih menjadi pembicaraan hangat di kalangan para teolog adalah masalah yang berkaitan dengan keluasan kodrat Ilahi. Apakah kodrat Tuhan itu tak terbatas, mutlak dan meliputi semuanya ataukah terbatas dan sebagian berada di luar kemampuan-Nya? Sebagian berpendapat bahwa kemampuan Tuhan tak terbatas dan terdapat ayat-ayat Al-Qur’an yang menguatkan pendapat ini.[2]
Pendapat lain mengungkapkan tentang keterbatasan kodrat Tuhan dan mengingkari keterkaitan kodrat-Nya dengan sebagian masalah-masalah tertentu.
Pada prinsipnya, pendapat pertamalah yang benar. Kodrat Ilahi adalah mutlak dan tak terbatas sebagaimana halnya sifat-sifat dzat Tuhan yang lain. Untuk membuktikan pendapat ini secara rasional, selain kita bisa merujuk pada argumen ketidakterbatasan dan kemutlakan sifat-sifat Ilahi, juga bisa merujuk pada argumen pembuktian prinsip kodrat Ilahi. Argumen-argumen ini, selain bisa membuktikan sifat kodrat Tuhan, juga membuktikan kemutlakan kodrat-Nya, karena inti dalil-dalil ini adalah tak “sesuatupun” yang bisa menjadi penghalang bagi lahirnya kehendak-kehendak-Nya.
Kesimpulannya, selain argumen tekstual agama (al-Qur’an dan al-hadis) yang akan disajikan nantinya, kodrat mutlak Tuhan bisa pula dipahami dengan argumen rasional. Meskipun demikian, masih ada sekelompok yang ragu dalam kemutlakan kodrat Tuhan, mereka menyimpulkan bahwa kodrat Tuhan terbatas. Di bawah ini akan kami sajikan secara singkat keraguan utama mereka berkaitan dengan masalah ini.
Keraguan dalam Kemutlakan Kodrat Ilahi
Keraguan-keraguan klasik terhadap kodrat mutlak Ilahi diungkapkan dalam pernyataan yang beragam. Di bawah ini akan kami paparkan sebagian dari keraguan tersebut:
1. Apakah Tuhan mampu menciptakan sekutu bagi diri-Nya sendiri? Apabila jawabannya positif, maka konsekuensinya adalah kita memungkinkan keberadaan sekutu Tuhan, padahal menurut ahli hikmah (filosof Ilahi), keberadaan sekutu bagi Tuhan adalah mustahil. Dan apabila jawabannya negatif maka konsekuensinya adalah keterbatasan kodrat Tuhan, karena “ada sesuatu” yang Tuhan tak bisa ciptakan.
2. Apakah Tuhan mampu meletakkan dunia dengan seluruh isinya ke dalam sebutir telur tanpa merubah keluasan dunia dan tanpa merubah besar telur? Kalau jawaban pertanyaan ini adalah negatif, maka berarti kodrat Tuhan terbatas dan tidak mutlak, karena ada hal-hal berada di luar kemampuan-Nya.
3. Apakah Tuhan mampu menciptakan batu yang Dia sendiri tidak mampu menggerakkannya? Atau, apakah Tuhan mampu menciptakan sesuatu yang Dia sendiri tidak bisa menghancurkannya? Maka apapun jawabannya, baik positif ataupun negatif, akan berujung pada pembatasan kemutlakan kodrat Ilahi.
Pada dasarnya, semua pertanyaan di atas hanya berpijak pada satu prinsip, karena itu, untuk memberikan penjelasan dan jawaban yang memadai, terlebih dahulu akan kami jabarkan tentang klasifikasi “kemustahilan”.
Kemustahilan (mumtani’) terbagi dalam tiga bagian:
a. Kemustahilan dzat (esensial), merupakan mustahil-ada secara hakiki tanpa adanya faktor lain sebagai perantara dalam kemustahilannya. Seperti tergabungnya atau terangkatnya dua hal yang kontradiksi dalam satu waktu.
b. Kemustahilan mewujud, adalah mustahil-ada tapi tidak secara esensial dan hakiki, akan tetapi perwujudannya berujung pada kemustahilan esensial. Contoh dari kemustahilan mewujud adalah keberadaan akibat tanpa keberadaan sebab, yang pasti menghadirkan kontradiksi, yakni berkumpulnya dua hal yang kontradiktif[3]. Kedua kemustahilan tersebut disebut juga dengan kemustahilan rasional (mumtani’ al-aql).
c. Kemustahilan biasa, adalah mustahil terwujud jika dilihat dari prinsip-prinsip dan hukum-hukum alam, yakni keberadaan dan keberwujudannya adalah tidak mustahil secara esensial dan dzati.
Dengan memperhatikan definisi-definisi kemustahilan di atas, jawaban mendasar dari semua keraguan di atas adalah kodrat Tuhan tidak ada kaitannya dengan kemustahilan dzat (esensial) maupun kemustahilan mewujud. Seluruh keraguan di atas sesungguhnya dikategorikan ke dalam kemustahilan-kemustahilan mewujud. Sebagai contoh, keberadaan sekutu Tuhan merupakan kemustahilan mewujud, karena setelah dianalisa, perumpamaan keberadaan dua Tuhan (Wâjibul Wujûd) akan memunculkan kontradiksi, dengan kata lain, dua Wâjibul Wujûd yang dimisalkan itu, selain mereka merupakan Wâjibul Wujûd[4] juga bukan Wâjibul Wujûd[5]. Keraguan kedua juga akan mengakibatkan terjadinya kontradiksi, karena konsekuensi dari perumpamaan tersebut adalah bahwa dunia ini selain dia berukuran besar, dia juga berukuran kecil (karena bisa dimasukkan ke dalam sebutir telur). Demikian juga keraguan ketiga, yakni pemisalan penciptaan batu yang Tuhan tidak mampu menggerakkannya atau penciptaan makhluk yang Tuhan tidak bisa menghancurkannya, kesemua ini akan mengarah pada kontradiksi.
Perlu diperhatikan bahwa kemustahilan dzati atau kemustahilan mewujud sebenarnya tidak memiliki keterkaitan dengan kodrat Tuhan, kedua kemustahilan ini tidak akan pernah membatasi kodrat Ilahi, karena pada prinsipnya kemustahilan ini tidak mempunyai kapabilitas untuk dicipta, dengan ungkapan para filososf Ilahi dikatakan bahwa Tuhan sebagai Pelaku senantiasa sempurna, tetapi “sesuatu” (yaitu kemustahilan dzat dan mewujud) sebagai penerima perbuatan Tuhan tidak memiliki kapabilitas untuk dicipta.
Untuk lebih jelasnya, kita bisa mengamati kejadian-kejadian yang ada di sekitar kita (tentu saja hal ini mempunyai perbedaan mendasar dengan subyek bahasan kita yaitu kodrat dan perbuatan Ilahi, akan tetapi untuk mendapatkan pemisalan yang mudah, kita hanya memperhatikan sisi keraguannya). Kami akan memisalkan tentang seorang ahli keramik yang mampu membuat vas bunga yang indah dengan bahan dasar lumpur. Sekarang kita akan menyediakan semangkuk air di hadapannya lalu memintanya untuk membuat vas bunga dari air tersebut, apa yang akan terjadi? Tentu saja, dengan kondisi seperti ini, vas bunga yang paling sederhanapun tidak akan mampu dia buat, dari sini terlihat bahwa ketidakberhasilannya membuat vas bunga dari air bukan karena ketidakmampuannya atau ketiadaan pengalaman dalam keahliannya, tapi karena apa yang kita letakkan di hadapannya yaitu air, sama sekali tidak mempunyai kapabilitas untuk dapat diubah menjadi sebuah vas bunga.
Pada pembahasan sebelumnya, juga dibahas tentang proposisi bahwa kekurangan serta kelemahan terletak pada pihak penerima perbuatan dan bukan pada pelaku. Dipandang dari perspektif ini dapat dikatakan bahwa pengertian tentang “sesuatu” adalah tidak benar jika dinisbahkan pada kemustahilan rasional[6], hal ini berhubungan dengan ayat Al-Qur’an seperti “innallah ‘ala kulli syaiin qâdir” (Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu).
Oleh karena itu, konklusi jawabannya adalah bahwa persoalan-persoalan yang disebutkan dalam keraguan-keraguan tersebut digolongkan ke dalam “kemustahilan akal” dan keterkaitan kodrat terhadap persoalan ini menjadi ternafikan serta ketiadaan keterkaitan antara keduanya tidak akan menyebabkan keterbatasan kodrat Tuhan.
Tentu saja sebagaimana yang akan kami sampaikan pada pembahasan mukjizat, kodrat Ilahi akan berkaitan dengan “kemustahilan biasa” dan pada prinsipnya mukjizat merupakan manifestasi dari proses penciptaan atas “persoalan-persoalan yang mustahil.”
Kodrat Ilahi dan Perbuatan Tercela
Satu lagi masalah yang berkaitan dengan kodrat mutlak Ilahi adalah apakah Tuhan mampu melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji dan tercela? Terdapat dua pendapat dalam hal ini, berdasarkan pendapat pertama dikatakan bahwa Tuhan tidak memiliki kodrat untuk melakukan perbuatan semacam itu. Sementara pendapat kedua mengatakan, apabila dilihat dari hikmah dan sifat-sifat sempurna yang dimiliki-Nya, maka Tuhan mustahil melakukan hal-hal yang tidak terpuji, akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa Dia tidak mempunyai kemampuan untuk melakukannya.
Dengan mencermati subyek bahasan di atas bisa diketahui bahwa dari kedua pendapat tersebut pendapat kedualah yang bisa diterima. Tentu saja terdapat pula argumen untuk menegaskan pendapat pertama yang setelah menukilkannya, kami akan mencoba menganalisanya.
Telah dikatakan, apabila Tuhan kuasa dan mampu melakukan aktifitas-aktifitas tak terpuji, konsekuensinya adalah Tuhan tidak memiliki ilmu (bodoh, jahil) atau Tuhan membutuhkan (fakir), sementara telah diketahui bahwa Tuhan Maha Mengetahui, Maha Kaya dan Maha Suci dari segala bentuk kejahilan dan kefakiran, oleh karena itu, Tuhan mustahill melakukan perbuatan-perbuatan tidak terpuji dan tercela.
Dalam menjelaskan konsekuensi di atas dikatakan bahwa yang dimaksud dengan hadirnya aktifitas-aktifitas tercela berkaitan dengan kodrat Ilahi adalah adanya kemungkinan terwujudnya perbuatan tidak terpuji dari sisi Tuhan. Dimisalkan bahwa aktifitas tercela lahir dari Tuhan, dalam keadaan ini, bila Tuhan tidak mengetahui ketidakterpujian perbuatan itu berarti Tuhan adalah jahil, dan jika Dia mengetahui ketercelaan perbuatan itu berarti Dia melakukannya karena membutuhkan sesuatu, karena hikmah Ilahi mengharuskan ketiadaan aktifitas tidak terpuji. Dengan demikian, konsekuensi dari perumpamaan Tuhan mampu melakukan aktifitas-aktifitas tidak terpuji dikarenakan oleh dua asumsi, yaitu karena Tuhan bodoh atau karena Dia fakir, dan karena dua konsekuensi ini adalah mustahil terwujud, maka perumpamaan dan pandangan itu pun menjadi batal.
Dalam menjawab argumentasi di atas dapat dikatakan bahwa dua konsekuensi tersebut (yaitu jahil atau membutuhkan) merupakan syarat munculnya perbuatan tak terpuji dari Tuhan, dan dengan melihat kemampuan Tuhan melakukan aktifitas tak terpuji, hal ini tidak berarti bahwa pasti membutuhkan syarat semacam itu, karena sebagaimana dikatakan dalam definisi kodrat bahwa kemampuan melakukan sebuah perbuatan tidak mengharuskan munculnya aktifitas tersebut. Oleh karena itu, meskipun Tuhan mampu melakukan aktifitas tersebut, akan tetapi dengan dalil hikmah-Nya Dia mustahil melakukannya, dengan demikian tidak mengharuskankan kejahilan atau kebutuhan. Dengan ungkapan lain, dengan memandang hikmah yang dimiliki-Nya, adalah mustahil lahirnya perbuatan tak terpuji dari Tuhan, akan tetapi kemustahilan ini tidak berarti menafikan kodrat-Nya untuk berbuat.
Kodrat Ilahi Menurut Al-Qur’an dan Riwayat
Al-Qur’an memperkenalkan Tuhan dengan sebutan Qâdir, Qadîr, dan Muqaddir. Ia juga mensifati-Nya dengan Yang memenuhi segala sifat kodrat dan juga menegaskan ketakterbatasan dan keuniversalan kodrat Ilahi, sebagaimana ungkapan yang disebut berpuluh-puluh kali dalam al Quran: innallaha ‘ala kulli syai-in qadiir (Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu).
Pada sebagian ayat, ditemukan ungkapan-ungkapan yang dijadikan dalil dan argumen atas kodrat tak terbatas Tuhan. Surah at-Thalaaq (65) ayat 12, Allah berfirman, “Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, supaya kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.”
Sebagaimana yang kita lihat bahwa ayat ini menyiratkan bahwa ciptaan dan mekanisme alam merupakan salah satu dari petunjuk dan dalil atas kodrat tak terbatas Nya.
Pada ayat lain, penciptaan langit dan bumi dan menghidupkan kembali yang telah mati menunjukkan kodrat Nya atas kemampuan Nya. Dalam surah al-Ahqaaf (46) ayat 33, berfirman, “Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah yang menciptakan langit dan bumi dan Dia tidak merasa payah karena menciptakannya, kuasa menghidupkan orang-orang yang mati? Ya (bahkan) sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”
Kita juga bisa menemukan hadis-hadis yang menunjukkan keuniversalan Kodrat Ilahi ini dalam riwayat-riwayat Ahlulbait As. Sebagai contoh, sebuah hadis dari Imam Sadiq As, yang mana Dia bersabda:
“Allah mengetahui segala sesuatu yang telah diciptakan-Nya dari sisi ilmu, kodrat, kekuasaan, kepemilikan dan sebagainya, Dan segala sesuatu dari sisi ilmu, kodrat, kekuasaan, kepemilikan dan sebagainya, adalah sama bagi-Nya”.

Jawaban Keraguan atas Kodrat Ilahi
Pada sebagian argumen-argumen yang disabdakan Imam Maksum As terdapat pula argumen untuk menjawab keraguan-keraguan yang muncul atas kodrat mutlak Ilahi. Dalam salah satu riwayat dikatakan: seorang laki-laki bertanya kepada Imam Ali As, “Apakah Tuhanmu mampu memasukkan dunia ini ke dalam sebutir telur tanpa mengecilkan dunia ini dan tak membesarkan telurnya?”
Imam bersabda, “Sebagaimana kita ketahui bahwa Tuhan tidak bisa disifati dengan sifat lemah dan tidak mampu, akan tetapi apa yang kamu inginkan ini tidak bisa terwujud (tidak ada kapabilitas untuk terwujud).”
Konklusi jawaban Imam adalah selain pertanyaan tersebut (masuknya dunia seisinya ke dalam telur tanpa mengubah keduanya) yang bukan saja tidak akan terselesaikan dan tidak akan berarti bahwa Tuhan lemah dan tak mampu, bahkan apa yang ditanyakan itu tergolong sebagai kemustahilan mewujud, oleh karena itu, bisa dikatakan secara prinsip bahwa tak ada kapabilitas untuk terlahir dan terwujud.[www.wisdoms4all.com]

[1] . Pendapat ini dinisbahkan kepada kelompok Asy’ariyyah, rujuklah: Arsyad at- Thalibin, hal. 95.
[2] . Sebagai contoh lihat surah al-Baqarah (2) ayat 20, 40, 105, 109, 148, 259, 242.
[3] . Karena hal ini akan berefek bahwa sebuah akibat (yang niscaya membutuhkan sebab) sekaligus tidak membutuhkan sebab, dan hal ini berarti berkumpulnya dua hal yang kontradiktif.
[4] . Yakni diasumsikan bahwa Dia adalah Tuhan yang hakiki.
[5] . Yakni “Dia” adalah bukan Tuhan yang hakiki, karena Tuhan yang hakiki hanya satu dan tunggal.
[6] . Dalam filsafat “sesuatu” senantiasa disandarkan kepada wujud dan keberadaan, dikatakan “sesuatu” berarti telah berwujud, dan ketika telah berwujud artinya keberadaan “sesuatu” itu tidak lagi mustahil secara rasional. Dalam hal ini, kodrat Tuhan hanya berkaitan dengan “sesuatu”.


window.google_render_ad();
Nopember 29, 2007Kategori: Telaah Teologis atas Sifat-sifat Tuhan . . Penulis: isyraq

Tidak ada komentar:

Posting Komentar